DURIAN LAHUNG-LAHONG (Durio dulcis)

Indoborneonatural----Siapa sich yang tidak kenal buah durian? Ya, buah dengan ciri khas duri yang banyak di bagian kulit luarnya ini tersebar luas di beberapa negara, terutama banyak ditemukan di daerah-daerah di Asia Tenggara. Dengan baunya yang tajam tapi harum, dari jauh saja seseorang sudah dapat mengenali tanda-tanda adanya buah durian.

Bagi Anda khususnya pencinta buah dengan nama Latin Durio sp, jika jalan-jalan ke Kalimantan, maka anda akan menemukan buah durian khusus yang khas Kalimantan yang diberi nama penduduk setempat dengan nama Durian Lahung atau Lahong.



Durian Lahung (Durio dulcis), agak minor namanya, termasuk buah durian yang hanya ditemukan di daratan pulau Kalimantan, tersebar di seluruh wilayah Kalimantan hingga ke wilayah Sabah Malaysia. 

Durio dulcis, yang juga dikenal sebagai durian marangang (atau merangang), durian merah, tutong, atau lahong, adalah pohon yang cukup besar dalam genus Durio. Tingginya bisa mencapai 40 m. Kulit buahnya berwarna merah tua sampai coklat-merah, dan ditutupi dengan duri ramping 15-20 mm. Daging buahnya berwarna kuning gelap, tipis, dan beraroma karamel dalam, dengan aroma terpentin. Buah dari spesies ini dianggap oleh banyak orang sebagai yang paling manis dari semua buah durian.

Namun pagi ini, aku temukan di pasar Kandangan Kalimantan Selatan. Hanya satu yang menyediakan dari beberapa penjual durian. Harganya berkisar antara 10 hinggga 25 ribu rupiah, tergantung ukuran dan kualitas buah durian yang bersangkutan.

Durian ini memang enak dan manis, apalagi dinikmati ditempat yang jualan langsung. Semanis acil yang menjualnya..hihihi...

Berminat mencicipinya ? datanglah ke Kalimantan Selatan....

TOKOH-TOKOH WAYANG PURWA BUDAYA JAWA INDONESIA LENGKAP

Kayon/Gunungan

Indoborneonatural----Sebelum kita melihat tokoh-tokoh yang tergambar dalam Wayang Purwa sebagai budaya Jawa yang ada di Indonesia, terlebih dahulu kita lihat tentang Kayon atau Gunungan sebagai bagian dari setiap pegelaran dan pementasan Wayang Purwa tersebut. Kayon yang ada dalam pewayangan Purwa digambarkan dalam sebuah gunung yang didalamnya terlukis pohon hidup yang dihuni oleh beberapa binatang hutan yang antara lain harimau, banteng, kera, burung merak dan lainnya. Dibawahnya dilukiskan sebuah pintu gerbang/gapura yang masuk kesebuah joglo, kemudian pada sisi kanan dan kiri ada sebuah gambar naga raksasa yang kelihatan jelas taringnya memngikuti bentuk atap joglo. Pada pergelaran Wayang Kulit Purwa, kayong berfungsi sebagai tanda peralihan pathet, adegan untuk melukiskan tempat dimana tokoh berada/sebagai penggambaran angin, api, hutan, air, batu dan masih banyak lagi yang bisa digambarkan oleh kayon. Di baliknya bergambar api yang berkobar dan makara/banaspati, kayon juga berfungsi sebagai pembuka dan penutup pegelaran wayang yang bersangkutan. 

Berikut inilah Tokoh-tokoh Wayang Purwa dan profil singkatnya, yang disusun berdasarkan abajad dari nama tokoh yang bersangkutan;

1.  Prabu Abiyasa, Beg Abiyasa
2.  Abilawa
3.  Abimayu
4.  Adirata
5.  Agnyanawati
6.  Airawata
7.  Dewi Amba
8.  Dewi Ambalika, Ambiki
9.  Dewi Adrika
10. Amongdenta
11. Anggada
12. Anggisrana
13. Dewi Anggraini
14. Anila/Kapi Anila
15. Anjani Cantik/ Anjani Kera
16. Anoman
17. Antaboga
18. Antabopa
19. Antareja
20. Antakawulan
21. Arimba
22. Arimbi raseksi/Cantik
23. Arimuka
24. Arjunasasrabahu
25. Arjuna/Janaka
26. Batara Asmara
27. Batari Aswana
28. Aswani Kumba
29. Aswan, Aswin
30. Aswatama
31. Badrahini
32. Bagaspati
33. Bagong Ratu/menjadi raja
34. Baka
35. Baladewa
36. Balaupa dan Cingkarabala
37. Banuwati
38. Barata
39. Baradwaja
40. Basudewa
41. Basukarna
42. Basupati
43. Batara Guru
44. Batara Kala
45. Bilung/Sarawita
46. Bima
47. Bisawarna/Dentawilukrama
48. Bisma
49. Bogadenta
50. Bomanarakasura
51. Bomantara
52. Brajadenta, Brajamusti
53. Brajalamatan
54. Brama
55. Bratasena
56. Bremana dan Bremani
57. Batara Kamajaya
58. Bukbis
59. Bumiloka/Mustakaweni
60. Burisrawa
61. Buta terong
62. Cakil
63. Cangik
64. Cantrik
65. Caranggana
66. Cekruk Truna
67. Citraksa dan Citraksi
68. Citrawati, Prabu Citragada
69. Dadungawuk
70. Darmogosa
71. Danapati
72. Dandonwacana
73. Batara Darma
74. Dasamuka
75. Dasarata
76. Destarasta
77. Dewabrata
78. Dewa Ruci
79. Dewi Tari
80. Ditya Lembuculung
81. Dersanala
82. Dresthajumna
83. Drupada
84. Drupadi
85. Durga
86. Durgandana
87. Durmagati
88. Durna
89. Dursala
90. Dursasana
91. Dursilawati
92. Duryudana
93. Ekalaya
94. Emban
95. Erawati
96. Gagak Baka
97. Gana
98. Gandabayu
99. Gandamana
100. Gangga
101. Gandawati
102. Gardapati
103. Gareng
104. Gatotkaca
105. Gentong Lodong
106. Gorawangsa
107. Gotama
108. Gunadewa
109. Gunawan Wibisana
110. Guwarsa/Guwarsi
111. Hamsa
112. Hartadriya
113. Indra
114. Indrajit
115. Irawan
116. Purwati
117. Jakapuring
118. Jakatus
119. Jambumangli
120. Janaka
121. Jangetkinatelon
122. Jarasanda
123. Jatagimbal dan Jatagini
124. Jatasura
125. Jatayu
126. Jayadrata
127. Jayasemedi
128. Jayawilapa
129. Jembawan
130. Jembawati
131. Jungkungmardea
132. Kakrasana
133. Kalabendana
134. Kalakarna
135. Kalanjaya dan Kalantaka
136. Kala Pracona
137. Kalasrenggi
138. Kalimantara
139. Kanastren/Kaniraras
140. Kandihawa
141. Kangsadewa
142. Kartapiyoga
143. Kesawasidi
144. Kekayi
145. Kencakarupa
146. Kenyawandu
147. Kertanadi
148. Kerpamuda/Kerpa tua
149. Kerpi
150. Kresna
151. Kumbayana
152. Kumba-kumba
153. Kumbakarna
154. Kunti
155. Kuntulwinanten
156. Ramakusya dan Lawa
157. Kuwera
158. Lesmanawidagda
159. Lembu Andini
160. Lesmanamandrakumara
161. Madrim
162. Maerah
163. Mahadewa
164. Matswapati
165. Mintaraga
166. Harjunapati
167. Nagaraja
168. Nagagini
169. Nagatatmala
170. Nakula
171. Narada
172. Narasoma
173. Kalmasapada
174. Narayana
175. Niwatakawaca
176. Padmanaba
177. Parasaea
178. Pancawala
179. Pandu
180. Parikenan
181. Parikesit
182. Patuk dan Tamboro
183. Pergiwa dan Pergiwati
184. Pertiwi
185. Petruk
186. Podangbinorehan
187. Prabakusuma
188. Prabasini
189. Perbawa
190. Pragalba
191. Prahasta
193. Pratipa
194. Premadi
195. Priyambada
196. Raden Puntadewa
197. Purwaganti
198. Supalawa
199. Raghu
200. Rajamala
201. Ramabargawa
202. Ramawijaya
203. Rukmakala/Rukmuka
204. Rajawulan
205. Sadewa
206. Sakri
207. Sakuntala
208. Sekutrem
209. Salya
210. Samba
211. Sambo
212. Sanga-sanga
213. Sasikirana
214. Sasrahadimurti
215. Sasrawindu
216. Setyawati
217. Sawitri
218. Sayempraba
219. Sembadra
220. Sengkanturunan
221. Sengkuni
222. Sentanu
223. Srimahapunggung
224. Setyawan
225. Setyajid
226. Setyaka
227. Sinta
228. Dewayani
229. Sisupala
230. Sitija
231. Sitisundari
232. Srikandi
233. Srimahapunggung
234. Subadra
235. Sugriwa dan Subali
236. Sukesi
237. Sukasarana
238. Sumali
239. Sumantri
240. Sumitra
241. Suratimantra
242. Surtikanti
243. Surtikanti
244. Surya
245. Suryasaputra/Suryawati
246. Tambakganggeng
247. Tangsen
248. Togog
249. Tremboko
250. Ttrikaya dan Trinetra
251. Trisirah
252. Trijata
253. Tuhayata
254. Udawa
255. Ugrasena
256. Uma
257. Utara
258. Utari
259. Wasita
260. Watugunung
261. Wibisana
262. Wilutama
263. Wisanggeni
264. Wisata
265. Wisnu/Batara Wisnu
266. Wisrawa
267. Prabu Banaputra
268. Wiratsangka
269. Yamadipati
270. Yamawidura
271. Yudistira
272. Yuyutsuh
273. Handaka Murti
274. Kalayuwana
275. Ampyak/rampongan
276. Kereta Jaladara
277. Pertuk Raja
278. Pandu Bregola

DUA BANGUNAN AGAMA TERKENAL ZAMAN DAHULU DI KALIMANTAN SELATAN

Indoborneonatural -----Di daerah Kalimantan Selatan dari zaman abad ke-1 sampai dengan abad ke-15 hanya ada dua buah bangunan agama yang terkenal yaitu yang disebut-sebut banyak rakyatnya dengan nama Candi Agung dibuat dalam kurun waktu berjayanya Negara Dipa dan Candi Laras dalam kurun waktu Negara Daha. Kedua candi ini dibuat dari batu bata yang bahannya mungkin dibakar di sekitarnya. Yang khusus adalah Candi Laras di Margasari. Pertama ia adalah candi siwa. Di sekitarnya terdapat sisa patung yang tidak jelas identifikasinya, kedua sisa Candi, sisa potongan lingga dari batu bazalt merah, dan pecahan Joni Lingganya besar sekali.

Keanehan lain adalah Candi dibangun di atas sebuah punden berundak tiga dalam ukuran-ukuran kira-kira sebagai berikut:

a. Dasar  100 x 100 M x 2 M  =  10.000 M3
b. Tengah  70 x  70   x 2 M     =   4.900 M3
c. Atas       30 x  30   x 1 M    =     900 M3

Punden ini seluruhnya dibuat dari tanah liat, diselingi dengan balok-balok dan kayu ulin. Tanah liat ini digali dari sejumlah sungai kecil yang bertolak dari Candi Laras ke Sungai Tabalong.

Candi Agung/ Negara Dipa


Candi Laras/ Negara Daha

Candi Agung di Amuntai yang merupakan peninggalan Kerajaan Negaradipa Khuripan yang dipecaya dibangun oleh Empu Jatmika abad ke XIV Masehi. Dari Inilah lahir Kerajaan Daha di Negara dan Kerajaan Banjarmasin.

Menurut cerita, kerajaan Hindu Negaradipa berdiri tahun 1438 di persimpangan tiga aliran sungai Tabalong, Balangan, dan Negara. Cikap bakal Kerajaan Banjar itu diperintah oleh Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Patih Lambung Mangkurat. Negaradipa kemudian berkembang menjad kota Amuntai. Candi Agung diperkiran telah berusia 740 tahun. Bahan material pembuatan Candi Agung ini didominasi oleh batu dan kayu. Sekarang saja, walaupun hanya tersisa puing-puing pondasinya, bangunan terlihat masih sangat kokoh. Di percaya batu bangunan yang digunakan untuk candi mirip sekali dengan batu bata merah. Tetapi bila dipegang terasa berbeda, batunya lebih berat dan lebih kuat dari batu bata merah biasa pada bangunan rumah sekarang. Di Candi ini juga ditemukan beberapa benda peninggalan bersejarah yang usianya kira-kira sekitar 200 tahun Sebelum Masehi.

Sisa Pondasi Candi Agung/ Negara Dipa
Kondisi Bangunan Candi ketika ditemukan kembali sekarang, Seluruh candi sudah habis sisa bangunannya kecuali fundasi dalam tanah. Lima ratus meter di sebelah timur terdapat sebuah petirtaan, seluruhnya dibuat dari batu-batu dengan ukuran kira-kira 40 - 20 - 9 cm. Rakyat kalimantan Selatan sekarang umumnya biasa menyebut candi, memfungsikannya sebagai tempat mengantar "sajen pahajatan", namun bagaimana bentuk yang disebut candi, apa fungsinya, agama apa yang dianut di sini, tak ada yang tahu. Pengaruh candi-candi ini masih nampak pada atap tumpang Mesjid, atau kalamakara pada pilis-pilis rumah adat khas banjar.

Amuntai-Kalsel

Amuntai-Kalsel

Amuntai-Kalsel

Candi Agung Tempat Wisata Amuntai



Sejarah Singkat Negara Daha dan Negara Diva

Negera Diva adalah kerajan nya nenek moyang nya Kesultanan Banjarmasin, Karena dari Negara Diva maka lahirlah Kesultanan Banjarmasin. memang banyak sejarah yang menyatakan Negara Diva ini adalah kerajan Hindu, namun setelah kami teliti di lapangan di bangunan nya, tenyata bukan Hindu, pengaruh hindu ada setelah Negera Diva itu kalah dengan Majapahit, karena melayu dan dayak bukan Hindu, tapi Aninesmi, meski jawa sudah ada, dan corak Jawa, itu juga ada karena Negara Diva sudah kami katakan adalah penetang Majapahit meski Jawa sendiri terlibat dalam pendirian nya, yang dalam cerita Jawa berdahulu mengajak Melayu dan Dayak supaya melawan Majapahit, dan jangan bayar umpeti itu, yang berbentuk bater, di sungai-sungai lintas mereka, serta saat sudah Majapahit mengalahkan nya, yang sudah di ketahui dayak dan melayu itu sangat kuat dalam keyakinan nya, lebih memilih mati dari pada ikut keyakinan orang lain, dan Hindu kebanyakan di anut adalah kaum Jawa, yang datang untusan nya Majapahit, dan corak Jawa tersebut banyak terdapat di Negera Diva, dan system hukum sendiri tidak menganut Jawa, tapi adat campuran Melayu dan Dayak, Negera Diva hanya membayar umpeti nya saja, tapi Majapahit tidak ikut dalam pemerintah daerah, maka nya Negera Diva Tidak berlangsung lama, pecah nya konflik, campur tangan nya banyak pihak yang merasa berhak untuk berkuasa, 3 golongan berebut, Jawa, dayak dan Melayu, hingga puncak nya dengan runtuh nya Negara Diva, dan Kerajan di Pindahkan lagi ke daerah Danau Pangang dan Negara, namun masih sepeputaran Kalsel, antara, Kadangan, Barabai, dan Amuntai sendiri, kerajan itu Bernama Negara Daha, namun juga masih belum dapat di gali siapa yang memerintah nya, dan golongan mana, hanya ada 2 saja kemunkinan, Dayak atau Melayu.

Karena yang membantu hancur negara daha adalah Islam, dan dari Jawa adalah Demak dan Mataram, hancur nya juga akibat yang membantu mempertahankan nya nya Majapahit di Jawa Hancur, oleh Islam dan Demak juga, serta serangan dari Sumatera sangat lah sengit sekali, yang pada saat itu di daerah Sumatera, yang runtuh nya Majapahit awal perang berebut kekuasan yang baru sebelum kedatangan musuh dari Eropa, begitu juga di Kalimantan, yang masing-masing melakukan perang saudara, di Sumatera, Samudara Pasai Aceh, sampai juga pecah, mingangkabau, Palembang, hinggan Nias, yang sama perang saudara, Kalimantan, Kutai, dan Negera Daha perang dan berkonflik hingg Belanda dan Ingris datang, Ponitanak, Sampit, Pakalanbun, Samarinda juga sama berebut untuk berkuasa, Majapahit runtuh, Islam mulai berkuasa, dan itu tak dapat di hindari lagi sudah, bahkan dalam Tex kutai Kartanegara, orang melayu yang sudah menganut Ajaran Islam di Malasyia Brunai dan Sabah, ada inti dari masalah banyak konflik yang menetang Majapahit di Kalimantan, mereka bersekutu dengan banyak pedangan Aceh Sumatera yang sudah menganut Islam, yang rela mengorbankan harta dan nyawa nya untuk menyebarkan Islam, belum lagi Majapahit terdeksak dengan Walisogo di Jawa, dan pada hal Walisogo di ceritakan tanpa kekerasan dalam menghacurkan Majapahit.

Negera Daha kacau balau, dan putra Mahkota bernama Samudra melarikan diri ke perkapungan orang melayu di pesisir sungai barito bernama Kuin, kuin di pipimpin seorang kepala kampung dari Sumatera bernama Patih Masih, Patih Rumah, Samudara di asuh Patih Masih hingga menjadi pemuda, dan pada akhir nya di akan jadi raja di kuin, dan mendirikan kerajan Banjar pertama, menetang Kerajan Daha, dan menangih hak nya selaku putra mahkota kerajan Daha, pertepuran terjadi sengit, atara paman Tamangung, dan Samudara, sungai kuin di pagar carukan, dan di beri nama kampung carutcuk, untuk membendung Negara Daha, dan Samudra, tidak bisa lagi menahan dahsyat Negara Daha, yang pada akhir nya meminta bantuan pada Demak dan Islam, untuk mengalahkan Negara Daha, dan ada perjanjian jika Banjar menang maka Sumadra harus masuk Islam, dan Banjar menang, Samudara masuk Islam, berganti nama Sultan Suriyansyah, Kesulatanan Banjarmasin Berdiri, dan Negera Daha Hancur, di gantinkan Kesultanan Banjarmasin.

Sumber: 
- Buku Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud Tahun 1977/1978
- https://blogfrog99.blogspot.co.id/2016_08_08_archive.html?m=1
- Sumber Gambar Google dan Koleksi pribadi

MENGENAL PENJOR DALAM TRADISI BUDAYA BALI PADA SAAT HARI RAYA GALUNGAN

Indoborneonatural-----Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll.

Penjor - Bali
Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.

Penjor berasal dari kata Penjor, yang berarti Pengajum, atau Pengastawa, kalau dihilangkan huruf “ny” , menjadi kata benda yaitu Penyor yang berarti  sebagai sarana untuk melaksanakan Pengastawa.

Penjor merupakan salah satu upakara dalam hari Raya Galungan. Penjor adalah simbol dari naga basukih, dimana Basukih berarti kesejahteraan dan kemakmuran. Bahan-bahan untuk penjor banyak berasal dari hasil pertanian, seperti plawa (daun-daunan), Palawija (biji-bijian seperti padai atau jagung), pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, pisang, mentimun).

Bahan dari penjor sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.

Pembuatan-Penjor-Bali
Memasang Penjor bertujuan untuk mewujudkan rasa bakti dan sebagai ungkapan terima kasih kita atas kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Bambu yang melengkung adalah gambaran dari gunung tertinggi sebagai tempat yang suci, hiasan Penjor yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, jajan, dan kain adalah wakil dari semua tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan, yang dikaruniai oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan).

Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha
Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi, widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu (titik O), sang hyang parama siwa menjadi nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.
Penjor galungan bersifat religius, yang mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan,dan wajib di buat lengkap dengan kelengkapannya, membuat penjor untuk upacara memerlukan syarat tertentu, dan sesuai dengan Sastra Agama, agar tidak berkesan sebagai hiasan saja. Di dalam lontar Tutur Dewi Tapini juga telah disebutkan bahwa setiap unsur pada penjor melambangkan simbol-simbol suci, yaitu sebagai berikut :
  • Bambu (dan kue) sebagai vibrasi kekuatan Dewa Brahma
  • Kelapa sebagai simbol vibrasi Dewa Rudra
  • Kain Kuning dan Janur sebagai simbol vibrasi Dewa Mahadewa
  • Daun-daunan (plawa) sebagai simbol vibrasi Dewa Sangkara.
  • Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa Wisnu.
  • Tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu.
  • Padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri
  • Kain putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara..
  • Sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa.
  • Upakara sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.

Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.

Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.

Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.

Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. 

Unsur-unsur yang ada pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.

Sumber: 
http://inputbali.com/budaya-bali/filosofi-dan-arti-dari-unsur-unsur-penjor-galungan
http://www.mantrahindu.com/makna-penjor-galungan/

INILAH FILOSOFI BURUNG TINGANG BAGI SUKU DAYAK HINDU KALIMANTAN

Indoborneonatural----Burung Tingang/enggang merupakan satwa langka yang terdapat di hutan rimba Kalimantan. Tercatat sebagai keturunan burung yang hidup sejak ribuan tahun lalu. Sejak lama burung tingang memang sudah menjadi salah satu burung yang “dipuja” dibanyak kebudayaan kuno, termasuk suku Dayak di Kalimantan. Burung tingang pada beberapa kebudayaan kuno menjadi bagian ritual religi yang melambangkan kebebasan, kesucian dan mithologi. Burung yang dianggap memiliki kekuatan gaib oleh suku dayak ini, Kini ia termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi karena terancam punah.

Burung Enggang/Rangkong
Burung Enggang atau Burung Rangkong adalah sejenis burung yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran. Biasanya paruhnya itu berwarna terang. Nama ilmiahnya “Buceros” merujuk pada bentuk paruh, dan memiliki arti “tanduk sapi” dalam Bahasa Yunani.

Di antara semua jenis burung enggang/burung rangkong, enggang gading (Buceros vigil) adalah yang terbesar ukurannya, kepalanya dan paruhnya besar, tebal dan kokoh dengan tanduk yg menutup bagian dahinya. Warna tanduk merah pada bagian yang dekat dengan kepala, kuning gading pada sisanya. Ciri ini yang memberikan namanya. Ekor sangat panjang sampai dua kali panjang tubuhnya seluruhnya dapat mencapai 1,5 m, terbangnya kuat dengan mengeluarkan bunyi hempasan sayap. Bertengger di pohon yang tinggi, burung ini sering menimbulkan suara yang ramai di tengah hutan. Makanannya buah-buahan terutama buah beringin dan palem, tapi tidak jarang juga makan serangga, tikus, kadal bahkan burung kecil.

Burung ini tersebar di Kalimantan dan Sumatera sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan taut. Burung ini membutuhkan habitat yang berupa hutan dengan pepohonan yang tinggi yaitu di hutan tropika yang tidak terganggu, yang masih utuh. Pelestarian Enggang Gading menunjukkan pelestarian hutan tropika. Di dalam hutan ia selalu bertengger pada pohon-pohon tertinggi, sambil kadang-kadang ia terbang ke pohon-pohon yang rendah untuk mendapatkan makanan.

Burung enggang bertelur sebanyak enam biji telur dan dierami di dalam sarang. Sarang burung enggang terbuat dari kotoran dan kulit buah. Hanya terdapat satu bukaan kecil yang cukup untuk burung jantan mengulurkan makanan kepada anak burung dan burung enggang betina. Jika telur telah menetas dan anak burung semakin dewasa, maka sarang tidak akan cukup untuk menampung anak dan burung enggang betina. Burung betina akan memecahkan sarang untuk keluar dan membangun lagi dinding tersebut dan kemudian membantu burung jantan untuk mencari makanan bagi anak-anak burung. 

Oleh karena itu hewan yang memiliki paruh yang cantik ini termasuk dalam satwa yang dilindungi di Indonesia. Burung Tingang ini memiliki ciri khas yang tersendiri antara lain; ukuran tubuh yang besar, kurang lebih dua kali ayam kampung dan memiliki paruh yang sangat besar menyerupai tanduk berwarna kuning gading, dari kepala sampai leher memiliki bulu yang seperti rambut manusia. Ekor memiliki warna yang memiliki makna tersendiri menurut orang dayak yaitu; putih,hitam dan putih. Dari kejauhan, burung ini dapat dikenali melalui suara yang parau lantang. Burung dengan ukuran tubuh yang sangat besar, dengan suara yang keras serta beberapa jenis memiliki warna tubuh yang mencolok, merupakan burung yang sangat jarang dijumpai.

Dalam kepercayaan umat hindu dayak kaharingan, burung tingang memiliki makna tersendiri. Berdasarkan mithologi agama hindu kaharingan, di lewu batu nindan tarung (alam atas), Tingang Rangga Bapantung Nyahu (burung tingang) adalah  salah satu penciptaan Ranying Hatala melalui perubahan wujud Luhing Pantung Tingang (destar) yang dipakai oleh Raja Bunu ketika ia menerima Danum nyalung Kaharingan belum (Air Suci Kehidupan). 

Seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kitab suci panaturan Pasal 27 ayat 21
Hayak auh nyahu batengkung ngaruntung langit, homboh malentar kilat basiring hawun,Luhing pantung tingang basaluh manjadi Tingang Rangga Bapantung Nyahu”.

"Bersama bunyi Guntur menggemuruh memenuhi alam semesta, petir halilintar menggetarkan buana, Luhing pantung tingang kejadian menjadi Tingang Rangga Bapantung Nyahu (burung enggang)".

 Kemudian burung tingang tersebut tinggal dan menempati Lunuk Jayang Tingang Baringen Sempeng Tulang Tambarirang (Pohon Beringin), dimana pada saat Balian Balaku Untung wujud burung tingang itu memberkati kehidupan manusia melalui perjalanan Banama Tingang (perahu) untuk mendapatkan berkat dan karunia dari Ranying Hatala.

Oleh karena itu dalam setiap upacara basarah yang dilakukan oleh umat hindu kaharingan selalu terdapat dandang tingang (bulu ekor tingang) sebagai sarana pelengkap yang terdapat didalam sangku tambak raja mendapatkan bulau untung aseng panjang (berkat dan karunia-Nya) dari Ranying Hatala. Dilihat dari filsafat keagamaan hindu kaharingan sendiri dandang tingang memiliki makna simbolis didalam kehidupan umat manusia yaitu :
1. Warna putih dibagian atas, berarti alam kekuasaan Ranying Hatala beserta manisfestasi-manisfestasi-Nya.

2. Warna hitam di tengah, yaitu alam kehidupan manusia di pantai danum kalunen (dunia) yang penuh dengan rintangan dan cobaan.

3. Warna putih dibagian bawah, berarti alam kekuasaan Jatha Balawang Bulau.
Dari ketiga warna tersebutlah yang menjadi warna corak dalam kehidupan umat hindu kaharingan yang diaplikasikan dalam bhakti sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatala dan Jatha Balawang Bulau melalui berbagai upacara-upacara yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Umat hindu kaharingan meyakini bahwa dalam bulu ekor tingang tersebut terdapat suatu kekuatan gaib yang menjadi pedoman hidup yang berlandaskan dengan Lime Sarahan (Lima Pengakuan Iman) dalam meyakini segala kekuasaan Ranying Hatala dalam kehidupan di dunia ini.  


Sumber
http://sudarwana-sakri.blogspot.com/2011/06/buat-umat-hindu-kaharingan-di-kal-teng.html 
http://borneonews-borneoku.blogspot.co.id/2012/03/burung-khas-kaliantan.html

ALAM PIKIRAN DAN KEPERCAYAAN (AGAMA) SERTA HAL GAIB ZAMAN KUNO DI KALIMANTAN SELATAN

Baaruwah, tradisi kepercayaan kalsel, alat ritual Banjar, borneonatural
Indoborneonatural---Menurut perjalanan sejarahnya, sejak jaman kuno di Kalimantan Selatan terdapat kepercayaan (agama) dan alam pikiran yang juga tersangkut dengan hal-hal gaib yang dipercaya turun temurun oleh masyarakatnya. Kiranya tak akan terlalu jauh perkiraan kita bahwa sejak zaman bercocok tanam, perkembangan dasar pemujaan nenek moyang yang kemudian membentuk dasar-dasar agama "Kaharingan". Dasar yang ada bersifat serba dua mengenai alam, yaitu membagi alam menjadi alam atas dan alam bawah. Alam atas dikuasai Ilah yang disebut dengan bermacam nama yaitu :
  1. Tingeng atau Bungai, nama burung sakti perkasa, jantan dan terkenal dalam mytologi Dayak
  2. Raja Tongtong Matanandau, atau raja penjuru matahari.
  3. Mahatara (Maha Batara)
  4. Mahatala (Alatal)

Yang dua terakhir menunjukan telah menggunakan istilah dari agama Hindu dan Islam. Alam bawah dikuasai Ilah yang bersifat betina disebut;
  1. Tambon, naga atau ular besar sakti
  2. Jata atau Biwata

Ilah alam bawah ini dianggap melambangkan kesuburan dan bersifat keibuan.

Mitologi penciptaan alam duani dan manusia mengatakan bahwa semua yang ada ini diciptakan oleh Mahatara dan Jata bersama-sama dan diatur bersama-sama pula. Keduanya merupakan suatu kedwitunggalan (eine Einheit der Zweiheit). Totem emblim Mahatara adalah tingang dengan tumbak dan untuk Jata, Tambo dan keris.

Ilah Dwitunggal ini mencerminkan sifat alam yang serba dua dala ketunggalan, seperti baik-buruk, putih-hitam, terang-gelap dan seterusnya, semua melukiskan sifat etis-religius yang ambivalen. Ilah Dwitunggal ini dengan sifat serba dua tadi manifestasikan diri dalam sifat-sifat yang dilaksanakan oleh Ilah-ilah pengantara. Yang kedua ini mewujudkan karakter etis-religius yang ambivalen dari Ilah Dwitunggal tadi. Dalam tiap upacara, baik peserta maupun pemimpin upacara terlibat dalam pengelompokan ini. Pada suku dayak, balian pendeta wanita itu di sebut Naga yang berohkan garuda.

Dalam pemikiran religius sehari-hari Ilah Deitunggal ini digambarkan secara antropomorfis sekali, sebagai laki-laki dan wanita. Berhubungan dengan Ilah tertinggi dilaksanakan melalui ilah pengantara. Ilah-ilah ini dipimpin lima raja yang masing-masing jadi raja dalam kelompok Ilai-ilah tertentu yaitu:
  1. Ilah Kilat dan Raja Pali bertindak dalam pelanggaran adat dan hukum pali.
  2. Raja Ontong memberi rejeki, kekayaan dan kemakmuran.
  3. Raja Sial mendatangkan kengerian, kekejaman, celaka, musibah dna sebagainya
  4. Raja Hantoen, memberi segala kerusuhan, pengrusakan, mengganggu, meminum darah manusia.
  5. Raja Peres penyebar epidemi.

Mereka berlima ini memerintah sejumlah Ilah yang lebih rendah yaitu roh baik dan roh jahat yaitu:

a. Roh Baik
  1. Tempon Telon, pengantar roh orang mati ke akhira
  2. Sangumang, pembantu orang dalam kesukaran
  3. Antang, si pemberi tanda dan perlindungan
  4. Jarang Bawahan, si pemberi kekuatan dan kepahlawanan

b. Roh jahat
  1. Kuntilanak
  2. Karian, orang halus yang menyesatkan orang di hutan
  3. Kloe, penjaga tanah keramat
  4. Kukang, yang menguji/menghalangi roh yang sedang menuju ke alam baka (Lewu Lisu)

Arwah nenek moyang cikal bakal adalah penjaga tradisi dan adat disebut Nanyu Saniang. Mereka berada di alam baka dan bisa dipanggil membantu yang hidup, menjaga kampung, melindungi sungai atau keluarga. Tempat pemujaan pada pohon, batu atau patung.

Dalam mitologi Dayak juga dilukiskan mengenai Pohon Hayat yang disebut Batang Garing. Pohon Hayat ini mewujudkan kesatuan manifestasi alam atas dan bawah, unsur jantan dan betina, baik dan jahat, hidup dan kematian. 

Pohon Hayat atau Batang Garing melambangkan totalitas kosmos, tapi juga dulisme religius; sifat antagonistis ini selalu muncul dalam mite penciptaan, perulangan historis, terlukis dalam ritus dan kultus Tafsiran dalam kepercayaan khusus tentang jiwa alam baka, dan makna ritus kematian menggambarkan adanya harapan-harapan eskatologis, kepercayaan itu beranggapan bahwa jiwa manusia setelah meninggal mengalami proses khusus dalam kepergiaannya kenegeri roh, dan tersimpul dalam upacara ritus yang kompleks.

Di alam baka arwah itu menikmati sumber air Kahuripan (danum kaharingan) dari pohon hayat, hingga hidup "abadi" dalam artian lama penuh kenikmatan, tapi bila daya hidupnya habis, barulah ia menemui kematian kedua. Roh-roh ini kedunia lagi dalam bentuk cendawan, buah-buahan, bunga untuk dapat dilahirkan kembali melalui manusia.

Bila seseorang meninggal ia dikubur seperti biasa. Roh ini diantar ke tempat peristirahatan sementara. Ia menunggu ritus kematian sempurna seperti tiwah (Ngaju), pembakaran menyucikan ia dari sifat keduniawian dan menobatkan mereka jadi sanghyang. Tulang-tulang dibakan dalam Gunung Pidudusan Hyang.

Kematina tak lain dari sejenis perpindahan kehidupan. Ritus kematian membantunya mencapat tempat tujuan akhir yang sempurna dan melindungi yang masih hidup, dari roh-roh yang belum disempurnakan perjalanannya. Semakin lengkap, sempurna dan mahal upacara tersebut, semakin tinggi kedudukan Hyang ini di alam baka dan semakin cukup perbekalannya.

Dalam perkembangan selanjutnya. Agama dan kepercayaan asal ini kemudian mendapat pengaruh-pengaruh dari agama yang kemudian masuk, terutama agama Siwa. Agama Budah kemungkinan masuk terlebih dahulu dari agama Siwa. Istilah pitara, mahatara, pohatara jelas berasal dara Mahabarata. Demikian pula ritus tiwah dan ijambe dimana tulang-tulang ini dibakar sebagai ritus penyempurnaan kematian menjadikan arwah tersebut Hyang, seperti upacara Sraddha pembakaran tulang-tulang tersebut maksudnya agar kembali suci dan menjadi Siwa, raja pelindung negara. Agama Siwa berkembang dan membawakan pembaharuan yang dikembangkan oleh raja pertama Negara Daha.  

Demikian tentang alam pemikiran dan kepercayaan (agama) serta hal-hal gaib di Zaman Kuno dari masyarakat Kalimantan Selatan. Semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang kembudayaan Indonesia pada umumnya dan kebudayaan daerah Kalimantan Selatan khususnya. terimakasih. Admin; https:// indoborneonatural.blogspot.com/




INILAH 76 MACAM TARIAN KHAS KALIMANTAN SELATAN YANG HARUS DILESTARIKAN

Indoborneonatural----Seperti daerah-daerah lainnya, Kalimantan Selatan khususnya Banua Banjar memiliki ragam seni tari yang bermacam-macam. Hal ini memperlihatkan kekayaan seni budaya yang dimiliki daerah Kalimantan Selatan yang sangat tinggi. Pernah tercatat ada sekitar dua ratus lima puluh buah organisasi yang bergerak dalam bidang budaya: seni tari, seni rupa, seni musik, seni suara, seni drama, dan seni sastra. Melalui organisasi-organisasi itulah para seniman daerah menyalurkan bakatnya serta rasa seninya untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan hiburan. 


Tari Kalsel-Gambar: syarief76.wordpress.com
Dalam perkembangannya sejak waktu yang lama hingga sekarang ini terdapat banyak perombakan baik dalam tema maupun sarananya. Sejak jatuhnya kerajaan Banjarmasin pada pertengahan abad XIX, kesenian klasik kraton mengalami disintegrasi total. Gamelan misalnya, sebagian besar yang masih sifat-sifat keratonnya yang lembut lemah gemulai sudah berganti dengan pukulan-pukulan cepat dan keras. Bahan yang tadinya dibuat dari gangsa telah diganti dengan besi. Sedang sastra Banjar dengan menggunakan tulisan huruf Arab dan bahasa Melayu terhenti sama sekali.

Perkembangan seni budaya selanjutnya adalah untuk memenuhi hasrat masyarakat akan hiburan pada saat setelah menuai padi atau pada kesempatan lain seperti perkawinan dan sebagainya.

Teater rakyat yang disebut Mamanda lahir sebagai perpaduan antara tonil Melayu dengan tema-tema "Seribu satu malam", dengan baju baru sesuai dengan selera rakyat haus rekreasi di permulaan abad XX. Di samping itu beberapa jenis tarian yang kurang baik menurut pandangan agama Islam secara perlahan-lahan menghilang, tarian yang menghilang seperti Tari gandut dan tari topeng yang tidak lagi dimainkan baik di kota maupun didaerah-daerah plosok Kalimantan Selatan.

Dalam tahun 1975 Proyek Pusat Pengembangan Kesenian Kalimantan Selatan mengadakan penelitian dalam hal tari-menari. Hasilnya menunjukan bahwa penduduk Kalimantan Selatan memiliki seratus dua puluh delapan organisasi tari dengan anggota enam ratus lima orang anggota sedangkan tarian yang dipelajari sebanyak tujuh puluh enam macam tarian.

Berikut inilah 76 (tujuh puluh enam) macam tarian di daerah Kalimantan Selatan Selatan yang harus kita pelajari dan lestarikan;

1. Tari Baksa Kelana
2. Tari Temeng
3. Tari Baksa Panah
4. Tari Baksa Lilin
5. Tari Baksa Kembang
6. Tari Topeng (Panji)
7. Tari Baksa Lunta
8. Tari Baksa Ular
9. Tari Brama
10. Tari Baksa Rajawali
11. Tari Panimba Sagara
12. Tari Baksa Lilin Pancaran Dewa
13. Tari Baksa Ratu Kumala Kuku 
14. Tari Radap Rahayu
15. Tari Burung Mantuk
16. Tari Jambang Kaca
17. Tari Damarwulan
18. Tari Wayang Gong
19. Tari Ahui
20. Tari Tirik
21. Tari Tirik Lalan
22. Tari Japin
23. Tari Gerbang/Pahlawan
24. Tari Rantauan
25. Tari Kuda Gepang
26. Tari Mendung
27. Tari Sinoman Hadrah
28. Tari Mamanda (Baladon)
29. Tari Jepen Anak Tiga
30. Tari Japin Anak Delapan
31. Tari Kurung-kurung Pelanduk
32. Tari Gintur (Giring-giring)
33. Tari Benelai (Selendang)
34. Tari Balian Bawo
35. Tari Balian Amonraho
36. Tari Balian Dadas
37. Tari Balian Sawa
38. Tari Babansai
39. Tari Deder
40. Tari Kupu-kupu
41. Tari Mandulang Intan
42. Tari Datu Banawa
43. Tari Ading Bastari
44. Tari Sukmaraga-Patmaraga
45. Tari Nagasari
46. Tari Tempurung
47. Tari Rabana
48. Tari Kunang-kunang
49. Tari Maiwak
50. Tari Baradap
51. Tari Mamuai Wanyi
52. Tari Manjala Iwak
53. Tari Sumokorong
54. Tari Dayung Meratus
55. Tari Payung
56. Tari Burung Simbangan Laut
57. Tari Simbangan Darat
58. Tari Temeng Keleweng
59. Tari Selendang
60. Tari Manuai Padi
61. Tari Kakamban Habang
62. Tari Kuda Gepang Binian (Wanita)
63. Tari Kembang Goyang
64. Tari Tanggui
65. Tari Tangguk
66. Tari Patah Sembilan
67. Tari Mainang Pulai kampai
68. Tari Tanjung Katung
69. Tari Serampang Delapan
70. Tari Serampang Dua belas
71. Tari Lenggang Kencana
72. Tari Tanjung Ria
73. Tari Kaparinye
74. Tari Sri Langkat
75. Tari Maya Sari
76. Tari Hali Gali

Umumnya tari-tarian klasik itu diiringi dengan lagu-lagu dari perangkat gamelan yang terdiri atas: babon, gender, dau, gambang, saron, salantang kadenong, selantang besar, kenong, ketek, gong besar, gong kecil, kangsi, rantai, rantani unang-unang, suling, paksur, dan rebab. Sedang lagu-lagu yang dimainkan di antaranya adalah: ayakan lima, wani-wani, pancar buang, peksi mandong, paksi muluk, kabur, sumbu gelang, mas gemitir, gunjang ganjing babun, kambang muni, ketawang, kembang gayam, lagu kencang, sitru anam, dan sebagainya.

Di samping gamelan juga dikenal alat-alat musik lainnya seperti: kuriding, kecapi Dayak dan kurung-kurung. Sedangkan orkes-orkes maupun bang yang ada di daerah Kalimantan Selatan telah menggunakan alat-alat elektronis misalnya gitar, biola, organ, piano, sollo, alat-alat tiup, dan sebagainya.

Demikianlah 76 (tujuh puluh enam) macam tarian di daerah Kalimantan Selatan- Banua banjar  yang pernah ada dan harus kita pelajari dan lestarikan. Terimakasih kasih sudah berkunjung ke blog Indoborneonatural ini, semoga tulisan ini bermanfaat. Wassalam..

Sumber: Naskah Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan kebudayaan Daerah Depeartemen pendidiklan dan Kebudayaan Tahun 1977/1978.

Cari Artikel