Home » , » LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA, BAHASA SUKU BANJAR KALIMANTAN SELATAN

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA, BAHASA SUKU BANJAR KALIMANTAN SELATAN

Latar belakang sejarah orang Banjar dan Bahasa Banjar

Suku Banjar terdiri atas 3 bagian, yakni suku Banjar Muara, suku Banjar Batang Banyu dan suku Banjar Pahuluan. Ketiga kelompok ini telah berbaur, namun banyak atau sedikit unsur-unsur budaya dari masing-masing kelompok tersebut masih nampak pada sebagian orang Banjar sampai saat ini.


Orang Banjar

Orang Banjar pada umumnya adalah orang yang sehari-harinya mempergunakan bahasa Banjar dan beragama Islam. Di Kalimantan Selatan juga terdapat suku Dayak. Di antara mereka yang memeluk agama Islam, kemudian juga menyebut dirinya orang Banjar atau orang Melayu.

Desa Limamar yang hanya berjarak 12 km dari kota Martapura yang menjadi ibu kota kerajaan Banjar sejak dipindahkan dari Banjarmasin pada abad ke 17, merupakan desa yang banyak mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam kerajaan Banjar. Ketika Islam berkembang pesat di daerah ini, desa ini termasuk wilayah pusat pengembangan ajaran Islam yang pertama. Tokoh penyebar ajaran Islam Syekh Muhammad Arsyar al Banjari lahir dan dibesarkan di daerah ini. Tempatnya di desa Lok Gabang, di mana rumah kedua orang tua ulama besar tersebut hanya beberapa puluh meter dari perbatasan dengan desa Limamar.

Pada masa Syekh Muhammad Arsyad menyiapkan kader-kader penyebab Islam sekembalinya dari belajar di Mekah, maka masyarakat desa Lok Gabang, Desa Limamar, Desa Kelampayan dan Desa Dalam Pagar merupakan masyarakat pendukung dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan ulama tersebut. Atas usaha dan bimbingan Syekh Muhammad Arsyad dibuat terusan yang menghubungkan sungai yang mengalir melalui Lok Gabang, Limamar dan Kelampayan dengan sungai Martapura. Berkat adanya terusan inilah beberapa ratus hektar tanah persawahan yang tadinya merupakan danau yang selalu tinggi airnya baik yang sekarang termasuk wilayah desa Lok Gabang, Limamar dan Kelampayan kemudian dipilih oleh ulama besar ini sebagai tempat pemakaman beliau di akhir hayatnya.

Desa Limamar yang termasuk dalam wilayah basis perkembangan sekaligus Islam pada abad ke 18 ini dikenal sebagai daerah yang masyarakatnya taat beragama. Pada umumnya orang-orang tua di desa ini bisa baca tulis huruf latin. Tetapi dapat lancar membaca dan menulis huruf Arab. Hal ini merupakan dari sisa-sisa kegiatan perkembangan Islam di mana di desa-desa tersebut terdapat pengajian-pengajian tradisional. Sesuai dengan tuntutan agama bahwa setiap orang wajib memberikan pengetahuan keagamaan kepada anaknya. Karena itu kalau orang tua tidak berkesempatan mengajar anak-anaknya, maka ia harus mencarikan atau menyerahkan anaknya dididik seperti mengaji Al Qur'an dan ajaran-ajaran agama Islam lainnya.

Ketentuan-ketentuan yang telah dirasakan sebagai suatu tradisi pada masa lalu itu sekarang masih berlaku di masyarakat. Misalnya jikalau di desa terdapat sebuah Sekolah Dasar Negeri yang memberikan pengetahuan-pengetahuan umum, maka sudah sejak lama pula di desa ini berlangsung pendidikan dan pengajaran Sekolah Dasar Islam yang dikelola oleh masyarakat.


Bahasa

Bahasa Banjar tumbuh dan berasal dari bahasa Melayu. Dalam Bahasa Banjar tidak terdapat tingkatan-tingkatan Perbedaan yang ada hanya dialek ucapannya saja. Seperti dialek Banjar Kuala, dialek Kandangan, dialek Barabai, dialek Amuntai dan dialek Alabio.

Di daerah Kalimantan Selatan selain bahasa Banjar terdapat pula bahasa dari suku-suku asli, seperti bahasa Bakumpai, bahasa Manyan. bahasa Lawangan dan bahasa Bukit.

Dalam Bahasa Banjar tidak didapati bunyi "e", semua bunyi e dibunyikan dengan "a". Hal ini sesuai dengan bunyi dalam tulisan Arab Melayu, yang hanya mengenal bunyi "fathah", disamping "dumah" dan "kasrah". Karena itu dalam bahasa Banjar, "Kemana" selalu diucapkan "kamana", "kembang" diucapkan "kambang" dan sebagainya.

Awalan yang terdiri dari tiga huruf, seperti "ber" diucapkan "ba", "ter" diucapkan "ta". Misalnya "berdiri" diucapkan "badiri", kata "terpelanting" diucapkan dengan "tapalanting".

Bahasa Banjar adalah bahasa sastera lisan. Dalam menulis surat, menulis pelajaran, menulis pidato atau cerita, pada waktu dahulu digunakan huruf Arab dan bahasa Melayu. Demikian pula orang Banjar pada umumnya dapat memahami percakapan dalam bahasa Indonesia. Hanya bagi mereka, terutama yang tinggal di pedesaan, umumnya sukar atau canggung mengucapkan pembicaraannya dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Banjar adalah bahasa sastera lisan. Dalam menulis surat, menulis pelajaran, menulis pidato atau ceritera, pada waktu dahulu digunakan huruf Arab dan bahasa Melayu. Demikian pula orang Banjar umumnya dapat memahami percakapan dalam bahasa Indonesia. Hanya bagi mereka, terutama yang tinggal di pedesaan, umumnya sukar atau canggung mengucapkan pembicaraannya dalam bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Banjar untuk menyatakan hormat kepada orang lebih tua hanya terdapat dalam pemakaian istilah untuk sebutan "aku" atau "kamu". Apabila seorang anak berbicara kepada orang tuanya atau orang lain yang dihormatinya, maka ia menyebut dirinya "ulun" dan menyebut orang yang dihormatinya tersebut dengan "pian". Bagi orang Banjar Kuala yang sebaya umumnya menggunakan istilah "unda" untuk pengganti diri "aku", dan istilah "nyawa" untuk pengganti diri "kamu". Sedangkan orang Banjar Pahuluan menggunakan istilah "aku" dan "ikam" atau istilah lainnya "saurang" dan "andika" untuk pengganti diri aku dan kamu.

Orang tua laki-laki disebut "abah", dan ibu disebut "uma" Sedangkan bagi ayah dan ibu biasanya menyebut anak-anaknya dengan gelar "utuh" atau "anang" untuk yang laki-laki, dan gelar "galuh" untuk anak wanita.

Ada semacam perasaan segan bagi seorang suami maupun seorang istri utuk memanggil isteri atau suami dengan menyebut nama yang bersangkutan. Karena itu dalam masyarakat desa ini seorang suami atau seorang isteri masing-masing memanggil dengan identitas anak-anak mereka. Umumnya diambil dari nama pertamanya, misalnya abahnya Ali, untuk memanggil kepada suami yang anaknya bernama Ali, atau umanya Ali panggilan kepada isteri sebagai ibunya Ali. Kebiasaan untuk tidak menyebutkan nama ini memang menjadi amat kaku, terutama pada waktu kedua suami isteri tersebut belum atau tidak mempunyai anak. Karena itu kode-kode yang mereka sudah saling pahami banyak dipakai. Misalnya untuk pengganti nama itu disebut saja "eh" atau "oh". Kebiasaan ini masih terdapat dipedesaan sampai sekarang, walaupun pengaruh adat dan tata cara dari luar telah banyak pula merubah kehidupan desa tersebut. Generasi muda sekarang di desa ini yang telah berkeluarga, sudah ada juga yang menggunakan sebutan "kakak" dan "adik" untuk panggilan kepada suami dan kepada isteri. Bahkan panggilan dengan nama kesayangan juga ada yang menggunakan.

Sumber: Buku; Tata Kelakuan dilingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1984/1985.

Baca juga buku tema-tema buku dari proyek IDKD Kalimantan Selatan tahun 1984/1985 yang meliputi :
1. Arti perlambang dan fungsi tatarias pengantin dalam menanamkan nilai-nilai budaya
2. Makanan : wujud, variasi dan fungsinya serta cara penyajiannya
3. Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional
4. Tata kelakuan di lingkungan pergaulan keluarga dan masyarakat
5. Pembauran antar suku bangsa   
6. Pertumbuhan Pemukiman masyarakat di lingkungan air.      

0 komentar:

Cari Artikel